History Of Jamu


   


Ketika manusia purba hadir di bumi, perhatian utama mereka adalah upaya untuk mempertahankan hidupnya. Kebutuhan pertama yang dirasakan adalah bagaimana cara memperoleh makanan. Karenanya, perhatian mereka tercurah pada alam sekitar, tumbuhan dan binatang apakah yang dapat dijadikan bahan pangan atau makanan yang aman…dan dari kesemuanya tumbuhan merupakan bahan pangan yang paling mudah didapat. Keberadaan tanaman-tanaman tersebut pada perkembangannya tidak hanya dijadikan bahan pangan, namun juga untuk mengatasi masalah kesehatan. Dari itulah, kemudian diperoleh pengetahuan tentang berbagai jenis tumbuhan yang dapat digunakan sebagai obat untuk mengatasi jenis-jenis penyakit yang mengganggu kesehatan mereka.

Agar pengalaman tentang tumbuhan obat ini dapat ditularkan kepada anak cucu, sanak saudara maupun semua anggota masyarakat purba itu, mereka melakukan penyampaian lisan dari mulut ke mulut. Setelah adanya pengetahuan tentang tulis menulis, maka semua pengalaman tentang bahan-bahan baku alam ini, yang meliputi bahan tumbuhan, mineral (pelikan) , serta cara pemanfaatannyapun dicatat. Karena pada saat itu belum dikenal kertas, maka pencatatan dilakukan dengan cara menulis pada lempengan tanah liat yang masih basah dengan menggunakan logam tajam seperti paku, yang kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari. Cara penulisan lain dilakukan pada lembar-lembar daun lontar yang kuat, misalnya pada daun tumbuhan sejenis kelapa yang disebut lontar.
Lama kelamaan, setelah mereka mampu membuat kertas maka catatan mengenai perkembangan di bidang obat-obatan dari alat mini ditulis di atas kertas (papiry). Era selanjutnya berkembang lagi, yakni apa-apa yang telah dapat dicatat dikertas-kertas tadi dikembangkan menjadi buku-buku, seperti " De Materia Medica ", yang ditulis oleh Peanios Dioscorides. Juga buku " Genera Plantarum " oleh Linnaeus serta penulis-penulis lainnya. Kemudian disusunlah bahan-bahan tumbuhan tersebut beserta persyaratan-persyaratannya dalam suatu buku yang disebut Farmakope. Perkembangan menjadi lebih pesat lagi setelah ditemukannya komputer, internet dan sebagainya. Dengan demikian keterangan mengenai tumbuhan obat tersebut semakin luas tersebar, sehingga dapat diketahui dan dipelajari masyarakat seluruh pelosok dunia. Sementara itu, dengan dipelopori oleh Galen ( tahun 131 - 200 setelah Masehi ) seorang farmasis merangkap dokter, dimulailah upaya-upaya untuk membuat sediaan obat yang berasal dari tumbuhan dan hewan. Dari rintisan Galen inilah, kemudian dikenal cara-cara mengekstraksi (Mengambil sari) zat-zat yang berkhasiat dari bahan-bahan alami tersebut, dan lahirlah istilah " sediaan galenik / sediaan olahan " di bidang farmasi, termasuk apa yang dikenal dengan ekstrak dan tingtur, yang terus berkembang hingga kini.


Di Indonesia demikian pula keadaannya, terjadi perkembangan serupa yaitu sejak jaman dahulu kala, nenek moyang kita memanfaatkan tumbuhan untuk bahan obat-obatan. Sejarah tersebut terekam dalam sebuah dokumen tertua, yakni tahun 772 setelah Masehi, pada relief candi Borobudur berupa lukisan tentang obat, yang sampai sekarangpun masih digunakan sebagai obat. Dokumen serupa terdapat pula pada relief candi Prambanan, Penataran dan Tegalwangi.

Ramuan-ramuan obat yang berasal dari tumbuhan ini ditulis oleh penemunya, diatas daun lontar, yang di Bali disebut Lontar Usada dan ditulis dari tahun 991 sampai 1016 setelah masehi. Demikian juga di Sulawesi Selatan terdapat penulisan resep-resep yang dinamakan Lontarak Pabbura.
Di Jawa, penulisan resep-resep obat dilakukan diatas Rontal ( Ron = daun ) , daun Tal, sama dengan Lontar juga. Dokumen-dokumen ini telah ada yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maupun asing. Salah satu contoh dokumen hasil terjemahan tersebut adalah pada tahun 1937 di Bali, Lontar Usada diterjemahkan oleh Dr. med. Wolfgang Weck seorang dokter pemerintah Hindia Belanda, dalam bukunya Heilkunde und Volkstum auf Bali ( Pengetahuan tentang Penyembuhan dan Pekerti Rakyat Bali ). Juga Dr. R. Goris sejak sebelum Perang dunia Ke-II, banyak menulis tentang the Balinese Medical Literature di pelbagai majalah yang terbit di Indonesia maupun di luar negeri.

Disamping itu, di Indonesia sebelum era kemerdekaan terdapat pula kegiatan pengumpulan data dan informasi tentang pemanfaatan tumbuhan untuk pengobatan tersebut, yang dilakukan oleh dua orang Belanda,yaitu J. Kloppenburg-Versteegh dan Martha C. van Wijk-Fransz. Keduanya mengakhiri kegiatannya dengan menerbitkan buku masing-masing, yakni " Indische Planten en Haar Geneeskracht " atau " Tumbuh-tumbuhan Indonesia dan Khasiatnya untuk Kesehatan" dan " Martha's Indische Kruiden Recepten Boek " atau " Buku resep-resep tumbuhan Indonesia ". Buku yang pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta, menjadi dua jilid dan beredar bebas.

Pada zaman keraton-keraton Indonesia, misalnya Keraton Surakarta, pengetahuan tentang ramuan-ramuan obat dari bahan alam ini telah dibukukan kedalam " Kawruh Bab Jampi Jawi " atau " Pengetahuan tentang Jamu Jawa", yang diterbitkan pada tahun 1858 dan memuat sebanyak 1734 ramuan jamu. Awalnya sebagai bahan baku obat asal tumbuh-tumbuhan yang digunakan oleh nenek moyang kita diambil dari tumbuhan liar yang tumbuh di sekeliling tempat tinggalnya. Namun ketika tumbuh-tumbuhan di sekeliling rumahnya tidak mampu lagi memenuhi kebutuhannya, maka mulailah pencarian bahan baku dilakukan di tempat yang lebih jauh lagi, bahkan sampai ke wilayah hutan. Namun karena obat-obat nabati tersebut berasal dari tumbuhan liar, yang umurnya tidak seragam, maka mutunya tidak seragam pula. Karenanya mulai dipikirkan untuk membudidayakan tumbuhan sumber bahan baku tersebut agar dapat diatur pertumbuhan yang seragam, sehingga pada waktu pengumpulan bahan baku obat nabati tersebut dapat mempunyai umur yang bersamaan.


Dengan cara tersebut, maka dapat diupayakan bahan baku obat nabati memilki mutu yang seragam. Tinggallah sekarang dipikirkan kapan pengumpulan (panenan) bahan baku tersebut dilakukan, agar memilki mutu yang baik (optimal). Untuk rimpang , biasanya pemanenan sebaiknya dilakukan pada akhir musim kemarau, saat pertumbuhan tumbuh-tumbuhan tersebut berhenti. Kondisi terbaiknya dapat diketahui jika batang atau daunnya mulai mengering dan menguning, dan dipilih akar yang berdaging / gemuk. Selanjutnya untuk daun, pucuk berbunga atau seluruh bagian tumbuhan di atas permukaan tanah, sebaiknya dipanen antara jam 09.00 - 11.00, karena belakangan diketahui bahwa pada saat itu pertukaran zat ( asimilasi ) berlangsung maksimal. Disamping itu hendaknya dipanen pada saat tumbuhan itu berbunga atau sebelum masknya buah. Kemudian kulit batang (misalnya kulit batang pulai), berdasarkan pengalaman dikumpulkan pada musim penghujan, ketika pertunasan mulai terjadi. Diketahui bahwa pada saat itu kulit batang paling banyak mengandung zat-zat berkhasiat. Sementara bunga-bunga berdasarkan pengalaman dipanen sebelum atau ketika terjadi penyerbukan (sudah mulai didatangi lebah atau kupu-kupu). Kemudian untuk buah dipanen sebelum masak (cabe jawa, kemukus dan lada hitam ) atau pada saat masak ( adas manis, adas atau lada putih ). Akhirnya biji dikumpulkan pada saat buah yang mengandungnya masak.

Namun dengan masuknya penjajahan Belanda ke Indonesia, ikut pula masuk pengetahuan Barat, yang lambat laun menggeser pengetahuan tentang obat alam pada masyarakat, selanjutnya mengakibatkan berkurangnya pengetahuan tentang obat alam, bahkan hingga enggan menggunakan karena dianggap obat kampung dan tidak berkhasiat. Padahal kenyataan menunjukkan bahwa tidak seperti yang diduga, obat alam mampu berperan dalam mengatasi masalah kesehatan, yang ternyata dari jaman dahulu pada saat obat kimia belum dikenal, nenek moyang kita mampu bertahan hidup serta mampu menurunkan generasi-generasi penerus.Ini sebenarnya merupakan bukti bahwa obat alam memiliki kemampuan menanggulangi masalah kesehatan yang dihadapi.

Walaupun kedatangan penjajah Belanda sempat mengikis kepedulian kita pada obat alam, namun kenyataan menunjukkan bahwa kepedulian tersebut tidaklah punah sama sekali, karena pada jaman perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia, dalam rangka mengantisipasi kurangnya obat-obatan bagi para pejuang kemerdekaan, para dokter yang bertugas di medan juang memalingkan perhatiannya pada obat yang berasal dari alam, khususnya tumbuh-tumbuhan.
Maka dengan meneladani semangat cinta obat alam yang telah ditunjukkan oleh Prof. Dr. M. Sardjito, Drs. Med. Ramali, yang ketika itu berjuang di daerah Surakarta, mempelopori penyusunan buku tentang formula obat-abat alam, yang kemudian diberi nama " Formularium Medicamentorum Soloensis". Demikianlah maka ketika dunia barat mendengungkan semboyan " Back To Nature ", kita sebenarnya telah mendahului memanfaatkan obat alam dalam pelayanan kesehatan, hanya saja karena lambannya pertumbuhan semangat cinta obat alam tersebut, maka sampai kinipun perjuangan untuk memulihkan kedudukan obat alam dalam dunia kesehatan masih harus terus kita lakukan.



Djoko Hargono,
Pemerhati Obat Asli Indonesia